APAKAH MUHAMMAD PERNAH BENAR-BENAR HADIR DI
BUMI INI?
Oleh DK (2008).
Sebuah kehebohan terjadi di Jerman dikarenakan
seorang sarjana Islam terkenal mengklaim bahwa sosok Muhammad mungkin tidak
ada. Kritik seperti ini telah membuat masalah besar bagi agama-agama karena
mereka melulu menekankan iman dan mengabaikan panggilan akal sehat untuk
membuktikan sekaligus mendasarkan keyakinan mereka atas faktualitas sejarah
yang diasumsikan.
Dua agama yang paling bermasalah dalam hal ini
adalah Kristen dan Islam. Keduanya, tentu saja mengklaim Kristus sebagai nabi
yang pernah hidup. Sebuah inti keyakinan Kristen - setidaknya untuk sebagian
besar orang Kristen - adalah bahwa Yesus adalah perwujudan dari tuhan di bumi
ini. Demikian pula, bagi umat Islam sangat penting mengimani bahwa Muhammad
adalah seseorang yang nyata pernah ada dan pernah didikte oleh malaikat Jibril.
Ada tradisi yang cukup panjang dalam
kekristenan yang berkaitan dengan historisitas Kristus. Kita semua tahu bahwa
tidak ada bukti untuk keberadaannya. Bahkan ‘bukti’ Alkitab saling
bertentangan. Injil menawarkan potret-potret yang bertentangan, tergantung pada
agenda di balik penulisan dan perubahan berikutnya. Singkatnya, tidak ada
jumlah penelitian sejarah yang dapat menyelesaikan pertanyaan apakah Kristus
pernah hidup atau tidak, sedangkan analisis rasional dari teks dan kurangnya
bukti pendukung akan menunjukkan bahwa ia nampaknya tidak pernah hidup.
Muhammad Sven Kalisch, ketua Studi Islam di
Universitas Münster, telah menerapkan analisa historis seraup pada sosok
Muhammad. Dan dia berkesimpulan hal yang serupa.
"Posisi saya sehubungan dengan
kesejarahan keberadaan Muhammad, saya yakin bahwa baik keberadaannya maupun
ketidakberadaannya tidak dapat dibuktikan," katanya. "Namun bagaimanapun, saya lebih
condong bersandar pada ketidakberadaannya."
Masalah yang tercipta dari kesimpulan ini
ialah Sven Kalisch dengan sendirinya merobohkan validasi Al-Qur'an.
Menurut tradisi Islam, Al Qur'an adalah hasil
dari kunjungan Malaikat Jibril kepada Muhammad pada banyak kesempatan, mulai
tahun 610 M dan berlangsung hingga 632 M. Muhamad sendiri, konon, tidak
menuliskan apa yang dikatakan kepadanya : dia buta huruf. Pada awalnya, Islam
bersandar pada tradisi lisan, meskipun pengikut Muhammad masing-masing
menuliskan bagian-bagian dari apa yang mereka dengar.
Baru dua tahun setelah kematian Muhammad,
ketika iman yang baru sudah mulai terpecah-pecah dan perang telah membunuh
banyak dari mereka yang telah belajar Al Qur'an dengan cara menghafal, bahwa
khalifah pertama, Abu Bakar, memerintahkan seluruh teks yang akan ditulis dalam
versi definitif. Salinan tunggalpun diciptakan. Dua belas tahun kemudian,
khalifah ketiga, 'Utsman, memerintahkan salinan tambahan agar dibuat. Codex
Usman ini dianggap oleh kebanyakan umat Islam sebagai teks kanonik. Al-Qur'an,
kemudian menurut klaim umat Islam, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan Al kitab Kristen dalam hal integritas tekstual.
Tentu saja, apa yang sebenarnya dikatakan Al
Qur'an terbuka untuk interpretasi yang lebih luas. Dan jika Muhammad tidak ada,
dari mana teks benar-benar datang ? Muslim percaya bahwa Qur'an adalah sempurna
dan kata tak dapat diubah tuhan. Adalah penting bagi mereka untuk meyakini
bahwa kata-kata dalam Qur'an didiktekan langsung lewat Jibril, sebagai
perwakilan Allah, dan bahwa kata-kata itu telah ditangkap secara akurat.
Namun Kalisch mengambil pendekatan yang kurang
literal dan lebih spiritual. "Semua
kitab suci adalah produk dari pikiran dan pengalaman manusia" kata
Sven Kalisch. "Tuhan bekerja
pada tingkat yang lebih spiritual" dia bersikukuh, "Teks-teks suci harus didekati sebagai
ekspresi dari hubungan kita dengan (dan, mungkin, keinginan untuk) keilahian.
Kitab-kitab ini juga produk dari waktu dan tempatnya masing-masing (yang tidak
bisa dipaksakan untuk diaplikasikan sepanjang masa).”
Muhammad
Sven Kalisch
Hal ini tentu tidak akan menyenangkan kaum
Muslim. Salah satu atraksi besar agama adalah bahwa ia menawarkan kepastian
akan dunia antah berantah. Jika teks-teks kanonik agama yang anda yakini
berubah menjadi tidak lebih dari karya manusia belaka yang berjuang untuk
menemukan jawaban dan membentuk hubungan mereka dengan Tuhan, maka banyak
kepastian akan terhapus sudah. Semua hal menjadi terbuka untuk interpretasi.
Jawaban mudah pertanyaan bagi pertanyaan-pertanyaan seputar fondasi dan
validitas iman mereka, seperti yang selama ini agama-agama bakukan dan sucikan,
akan segera terhempaskan.
Setelah orang percaya mengakui bahwa tidak ada
fakta di jantung iman mereka, mereka juga harus menghadapi konsekuensi tidak
nyaman tentang klaim superioritas agama dan kitab mereka. Jika Perjanjian Baru
hanyalah sebuah kisah mitos, jika Al Qur'an didasarkan pada ide-ide yang
berputar-putar sekitar mitos, yang justru menjadi penghalang dan penghancur
hubungan langsung manusia dengan Tuhan, maka keyakinan menjadi tak lebih dari
sebuah gagasan atau angan-angan fantastis. Mereka yang masih bersikukuh akan
validitas kesejarahan Muhammad atau Kristus, bahwa ia pernah hadir di bumi ini
seharusnya berani memperlihatkan bukti yang valid tentang keberadaannya.