SEBUAH PANDANGAN BARU YANG RADIKAL MENGENAI ISLAM DAN ASAL USUL QURAN

SEBUAH PANDANGAN BARU YANG RADIKAL MENGENAI ISLAM DAN ASAL USUL QURAN



(Surga dengan 72 Bidadari Perawan berdada montok yang siap dilayani siang dan malam - eh ternyata cuman segenggam kismis putih. Sial deh)

Bagi umat islam Qur'an adalah fiman Allah, di mana Allah berbicara lewat malaikat Jibril kepada Muhammad: "Kitab ini tidak perlu diragukan lagi," tegas al Qur'an pada pembukaannya. Para sarjana dan penulis di negara-negara Islam yang telah mengabaikan peringatan tersebut telah kadang-kadang mendapati diri mereka menjadi target ancaman pembunuhan dan kekerasan yang dikirimkan secara dingin ke universitas-universitas di seluruh dunia.

Namun, tanpa menghiraukan ancaman itu, beberapa ahli telah diam-diam menyelidiki asal-usul Qur'an dan menawarkan teori-teori radikal baru tentang arti teks dan kebangkitan Islam. 

Christoph Luxenberg, seorang sarjana Bahasa Semit Kuno di Jerman, berpendapat bahwa Qur'an telah salah dibaca dan diterjemahkan selama berabad-abad. Karyanya, berdasarkan salinan paling awal dari Al Qur'an, menyatakan bahwa bagian-bagian dari kitab suci Islam ini berasal dari teks-teks sekte Kristen berbahasa Aram yang disalah-tafsirkan oleh ulama Islam di kemudian hari yang tengah mempersiapkan edisi Qur'an yang kelak kita miliki saat ini. 

Misalnya houri, bidadari perawan yang kelak menunggu para syuhada yang saleh sebagai hadiah mereka di surga, pada kenyataanya kata itu harusnya diterjemahkan sebagai "kismis putih" .  Christoph Luxenberg (nama samaran) dan buku ilmiahnya "The Syro-Aramaic Reading of the Koran" awalnya mengalami kesulitan mencari penerbit, meskipun dianggap sebagai karya baru besar dengan beberapa ulama terkemuka di bidangnya. Verlag Das. Arabische Buch di Berlin akhirnya menerbitkan buku.

Peringatan ini tidaklah mengejutkan. Buku Salman Rushdie "Ayat-ayat Setan" menerima fatwa karena karyanya tampak mengejek Muhammad. Novelis Mesir Naguib Mahfouz ditikam karena salah satu bukunya dianggap ‘tak beragama’. Dan ketika sarjana Arab Suliman Bashear berpendapat bahwa Islam dikembangkan sebagai sebuah agama secara bertahap, bukannya muncul dan terbentuk secara tiba-tiba dari mulut sang nabi, dia terluka setelah dilempar dari kelasnya lewat jendela di lantai dua oleh murid-muridnya di Universitas Nablus di Tepi Barat. Bahkan banyak Muslim liberal berwawasan luas menjadi marah ketika kebenaran sejarah dan keaslian Qur'an dipertanyakan.
Gemanya telah mempengaruhi para sarjana non-Muslim di negara-negara Barat. "Manakala terjepit di antara ketakutan dan kepura-puraan politik, tidaklah mungkin untuk mengatakan apapun selain omong kosong manis tentang Islam," kata seorang sarjana di sebuah universitas Amerika yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengacu pada ancaman kekerasan serta keengganan luas di perguruan tinggi Amerika Serikat kampus-kampus untuk mengkritik budaya lain.

Sekalipun tafsir kitab suci mungkin tampak seperti aktivitas terpencil dan tidak berbahaya, studi tekstual Kitab Suci Yahudi dan Kristen memainkan peran yang besar dalam melonggarkan dominasi Gereja pada kehidupan intelektual dan budaya di Eropa, dan membuka jalan bagi pemikiran sekuler agar tidak terkekang. "Kaum Muslim mendapatkan manfaat dari pengalaman Eropa, dan mereka tahu benar bahwa sekali Anda mulai mempertanyakan kitab suci, Anda tidak tahu di mana itu akan berhenti," jelas seorang sarjana.

Pendekatan pada pertanyaan tentang Qur'an sebenarnya datang jauh sebelum eskalasi militansi Islam. Sejak tahun 1977, John Wansbrough dari Sekolah Studi Oriental dan Afrika (school for Oriental and African Studies - SOAS) di London menulis tesis yang menempatkan Quran dalam analisa-analisa yang selama ini dikenakan pada kritik biblikal. Hal mana selama ini tidak pernah dikenakan pada Qur'an.

Lewat analisanya Wansbrough berpendapat bahwa teks-teks Qur'an tampaknya merupakan gabungan dari sumber-sumber yang berbeda atau naskah-naskah yang dikompilasi selama puluhan, jika tidak ratusan tahun. Lagian, para sarjana sepakat bahwa tidak ada bukti apapun dari keberadaan naskah-naskah Quran sampai 691 M, yaitu 59 tahun setelah kematian Muhammad - ketika Kubah Emas di Yerusalem dibangun yang konon membawa beberapa inskripsi dari Alqur'an.

Inskripsi ini berbeda dari versi Qur'an yang telah diwariskan selama berabad-abad. Para ahli menyarankan bahwa Qur'an mungkin saat itu masih berkembang sampai dasawarsa terakhir abad ketujuh. Selain itu, banyak dari apa yang kita kenal sebagai Islam - kehidupan dan perkataan Nabi - didasarkan pada teks-teks yang ditulis antara 130 sampai 300 tahun setelah kematian Muhammad.
Pada tahun 1977 dua sarjana lainnya dari SOAS di London University - Patricia Crone (sekarang seorang profesor sejarah di Institute for Advanced Studi di Princeton) dan Michael Cook (seorang profesor sejarah Timur Dekat di Princeton University) - mengusulkan pendekatan baru yang radikal dalam buku mereka “Hagarism: The Making of the Islamic World.”

Karena tidak ada catatan sejarah dalam bahasa Arab dari abad pertama Islam, mereka berdua mencari dokumen-dokumen abad ketujuh dari sumber-sumber non-muslim yang memberi petunjuk bahwa Muhammad dianggap bukan sebagai pendiri suatu agama baru tetapi sebagai seorang pengkhotbah dalam tradisi Perjanjian Lama yang memanggil kedatangan seorang Mesias. Banyak dokumen awal mengacu pada para pengikut Muhammad sebagai "Hagarin," dan "suku Ismail," dengan kata lain sebagai keturunan Hagar, hamba sahaya dari Sarah istri Abraham bapak Bangsa Yahudi, yang diangkat sebagai gundik untuk meneruskan keturunan Abraham, yang darinya nanti lahirlah Ismail.

Dalam bentuknya yang paling awal, Crone dan Cook berpendapat bahwa para pengikut Muhammad mungkin telah melihat diri mereka sebagai pemilik misi untuk merebut kembali Tanah Suci, bersama sepupu Yahudi mereka. Dan dari catatan yang ada, memang kaum Yahudi menyambut kedatangan orang Arab sebagai pembebas ketika mereka memasuki Yerusalem pada tahun 638.

Gagasan bahwa mesianisme Yahudi tertanam dalam benak para pengikut awal sang nabi tidak diterima secara luas di lapangan, tetapi "gerakan Hagarisme" dipercaya sebagai pembuka dari pemikiran ini. "Crone dan Cook muncul dengan beberapa ide revisionis yang sangat menarik," kata Fred M. Donner dari University of Chicago dan penulis buku terbaru "Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic Historical Writing." Saya pikir dalam rangka mencoba merekonstruksi apa yang telah terjadi, mereka menyelam ke kedalaman dan menanyakan pertanyaan yang tepat."

Aliran revisionis Islam awal telah diam-diam mengambil momentum dalam beberapa tahun terakhir pada saat sejarawan lain mulai menerapkan standar rasional untuk membuktikan materi ini.
Cook dan Crone telah merevisi beberapa hipotesis awal mereka sementara beberapa bagian dari tesis itu masih tetap mereka pegang. "Kami yakin ada beberapa detil yang keliru ," kata Crone. "Tapi saya tetap berpegang pada titik dasar yang kami buat: Bahwa sejarah Islam tidak timbul sebagaimana tradisi klasik ceritakan."

Crone tetap berpegang bahwa Qur'an dan tradisi Islam menyajikan sebuah paradoks yang mendasar. Qur'an adalah teks yang direndam dalam cara berpikir monoteistik, penuh dengan cerita dan referensi kepada Abraham, Ishak, Yusuf dan Yesus, namun sejarah resmi menegaskan bahwa Muhammad, seorang pedagang onta buta huruf, menerima wahyu di Mekah, di bagian terpencil Arab dengan populasi yang jarang, jauh dari pusat-pusat pemikiran monoteistik, dalam lingkungan Badui Arab yang menyembah berhala. Nampaknya sukar untuk menerima ide kisah tentang munculnya malaikat Jibril. Crone mengatakan para sejarawan entah bagaimana harus menjelaskan bagaimana semua ide dan kisah monoteistik ini sampai ke Qur'an.

"Hanya ada dua kemungkinan," kata Crone. "Entah harus ada sejumlah besar orang Yahudi dan Kristen di Mekah atau Qur'an sebenarnya disusun di tempat lain."

Memang, banyak sarjana yang tidak revisionis setuju bahwa Islam harus ditempatkan kembali ke dalam konteks historis yang lebih luas dari agama-agama di Timur Tengah daripada melihatnya sebagai produk spontan dari padang pasir Arab murni. "Saya kira ada peningkatan penerimaan, bahkan pada bagian dari banyak warga Muslim, bahwa Islam muncul dari sub monoteistik yang lebih luas di Timur Tengah," kata Roy Mottahedeh, seorang profesor sejarah Islam di Harvard University.

Para sarjana seperti Luxenberg dan Puin Gerd-R. yang mengajar di Saarland University di Jerman, telah kembali ke mushaf Qur'an awal untuk memahami apa yang dikatakannya tentang asal-usul dokumen dan komposisinya. Luxenberg menjelaskan salinan ini ditulis tanpa vokal dan titik-titik, diakritik Bahasa Arab modern yang digunakan untuk membuat jelas apa yang dimaksudkan surah-surah. Pada abad kedelapan dan kesembilan, lebih dari satu abad setelah kematian Muhammad, komentator Islam menambahkan tanda diakritik untuk menjernihkan ambiguitas teks, memberikan makna yang tepat untuk bagian-bagian berdasarkan apa yang mereka anggap konteks yang tepat mereka. Teori radikal Luxenberg adalah bahwa banyak dari kesulitan teks ini bisa diklarifikasi jika dilihat sebagai keterkaitan erat dengan Bahasa Aram, rumpun bahasa yang paling banyak digunakan oleh Kaum Yahudi dan Kristen di Timur Tengah pada saat itu.

Sebagai contoh, bagian terkenal tentang bidadari perawan didasarkan pada kata ‘hur’, yang merupakan kata sifat dalam bentuk jamak feminin yang Cuma berarti "putih". Tradisi Islam menegaskan bahwa ‘hur’ istilah berarti "bidadari", yang berarti perawan, tapi Luxenberg bersikeras bahwa ini adalah salah baca teks yang dipaksakan. Baik dalam Bahasa Aram Kuno dan maupun setidaknya di salah satu kamus terpercaya Bahasa Arab awal, hur berarti "kismis putih".

Luxenberg telah menelusuri naskah-naskah yang berkaitan dengan syurga dalam teks Kristen yang disebut Hymne Surgawi yang ditulis oleh seseorang di abad keempat. Luxenberg mengatakan kata ‘firdaus’ atau surga berasal dari kata Bahasa Aram untuk taman dan semua deskripsi tentang syurga digambarkan sebagai taman air yang mengalir, buah-buahan yang melimpah dan kismis putih, camilan lezat paling berharga di Timur Dekat kuno. Dalam konteks ini, kismis putih, sering disebut sebagai ‘hur’. Luxenberg katakan penjelasan ini lebih masuk akal lebih dari hadiah nikmat seksual.

Dalam banyak kasus, perbedaan dalam Qur'an bisa sangat signifikan. Puin menunjukkan bahwa dalam salinan kuno Qur'an awal, adalah mustahil untuk membedakan antara kata-kata "melawan" dan "membunuh." Dalam banyak kasus, katanya, ahli tafsir Islam menambahkan tanda diakritik yang menghasilkan makna keras, mungkin mencerminkan suatu periode di mana Imperium Islam sering berperang.

Dengan kembali ke naskah awal Qur'an, Puin dan sarjana lainnya menyarankan, mungkin akan membimbing kita pada pemikiran islam yang lebih toleran, juga lebih sadar akan hubungan dekatnya baik Yudaisme maupun Kristen.

Ini adalah kerja serius dan menarik," tanggapan Crone tentang karya Luxenberg. Jane Mc. Auliffe, seorang profesor studi Islam di Georgetown University, telah meminta Luxenberg untuk berkontribusi sebuah esai kepada Ensiklopedia Qur'an, yang tengah ia edit.

Puin akan senang melihat "edisi kritis" dari Al Qur'an yang nantinya dihasilkan, yang didasarkan pada pekerjaan filologis baru-baru ini, tetapi, katanya, "kata kritis sering disalahpahami di dunia Islam - itu terlihat sebagai mengkritik atau menyerang teks."

"Beberapa penulis muslim telah mulai mempublikasikan karya skeptis, revisionis atas Qur'an juga. Beberapa volume karya kesarjanaan revisionis, "The Origins of Qur'an," dan "The Quest Historical Muhammad," telah diedit oleh mantan muslim yang menulis dengan nama pena Ibn Warraq. Warraq, yang mengepalai sebuah kelompok yang disebut Institut for the Secularization of Islamic Society, tidak memiliki agenda politik. "Karya kesarjanaan Alkitab telah membuat orang kurang dogmatis, lebih terbuka," katanya, "dan saya berharap yang ini terjadi pada masyarakat Muslim juga".

Namun banyak umat Islam yang memperlihatkan klaim ofensif terhadap revisionisme. "Saya pikir implikasi yang lebih luas dari beberapa sarjana revisionis adalah untuk mengatakan bahwa Qur'an bukan buku otentik, dan bahwa Qur'an itu dibuat 150 tahun kemudian," kata Ebrahim Moosa, seorang profesor studi agama di Duke University, serta ulama Muslim yang kecenderungan-kecenderungan teologis liberalnya membuat dia dimusuhi oleh kaum fundamentalis di Afrika Selatan, yang ia tinggalkan setelah rumahnya dibom oleh para fundamentalis.

Andrew Rippin, seorang Sarjana Islamis dari University of Victoria di British Columbia, Kanada, mengatakan bahwa kebebasan berbicara di dunia Islam lebih cenderung berevolusi dari dalam tradisi interpretatif Islam dari pada serangan luar atasnya. Pendekatan Al Qur'an sekarang yang dicap sesat – yang menafsirkan teks metaforis ketimbang secara harfiah - secara luas pernah dipraktekkan dalam Islam mainstream seribu tahun yang lalu.

"Ketika saya mengajar sejarah penafsiran, ini bagaikan membuka mata bagi para siswa akan sejumlah pemikiran independen dan keragaman interpretasi yang ada pada abad-abad awal Islam," kata Rippin. "Barulah pada abad-abad kemudian ada kebutuhan untuk membatasi interpretasi".

(diterjemahkan dari New York Times, 2 Maret 2002 : Oleh Alexander Stille)